Wednesday, December 16, 2009

Janji Allah yang Telah Menetas

Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai. (Yesaya 9:5 )

"Natal" dalam bahasa Mandarin adalah 圣诞节 - "shèng dàn jié" (harfiah : festival of sacred birth, perayaan kelahiran suci). Kalau diambil dari persamaan bunyi, ada kata 生蛋 - "shēng dàn" berarti "telur menetas". Telur senantiasa bermakna kehidupan. Kita juga melakukan "tradisi" peringatan Paskah dengan telur, yang diartikan sebagai lambang cikal bakal kehidupan. Kelahiran Kristus adalah wujud janji Allah yang dikumandangkan sejak Adam-Hawa jatuh ke dalam dosa (Kejadian 3:15) dan disampaikan berulang-ulang dalam Perjanjian Lama, yang paling jelas pada Yesaya 7:14 yang menulis seorang perawan akan melahirkan seorang Bayi-perjanjian. Kedatangan Kristus yang lahir dengan cara alami dan manusiawi ini memberikan anugerah kehidupan yang kekal bagi siapa saja yang percaya kepadaNya.

Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. (Yohanes 3:16)

Apa yang kita peringati dalam Natal adalah adalah pengucapan syukur terhadap segala belas-kasihan dan anugerah kehidupan dari Allah kita. Robert Oppenheimer (1904–1967) seorang ilmuwan, ia bukan seorang Kristen, tapi ia pernah mengatakan : "cara menyampaikan gagasan adalah membungkusnya dengan seseorang". Allah telah menyatakan pesannya kepada semua umat di dunia melalui inkarnasi dalam Yesus Kristus, bahwa didalam Dia ada keselamatan. Bahwa Allah yang Mahatinggi telah menjelma menjadi manusia.

Natal dan Paskah senantiasa diperingati secara istimewa oleh umat Kristiani, betapapun ada saja kritik bahwa perayaannya menyerap tradisi-tradisi kafir. Namun, kita tahu dan sangat sadar betul bahwa kita bukan memperingati sesuatu hal yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Alkitab, sebaliknya kita memperingati kedatangan Allah kita yang rela lahir sebagai manusia, mati dan bangkit untuk misi keselamatan (2 Timotius 2:8). Suasana, semangat dan damai Natal justru banyak membawa orang datang kepada Kristus. Dan menjadi momen yang baik bagi keluarga-keluarga dan para sahabat-sahabat untuk berkumpul menikmati kebersamaan. Manusia hidup sangat memerlukan hubungan/ interaksi dengan sesamanya. Tanpa persekutuan antar sesama, hidup tidak akan berarti.

Allah telah menganugerahkan kehidupan yang kekal, melalui kelahiran Sang Putra (Yesaya 9:5). Istilah yang unik dari bahasa Mandarin tentang Natal yang merujuk kepada "telur yang menetas" menyatakan suatu lambang kehidupan yang asalnya memang dari Allah saja.

Amin.

Tuesday, December 08, 2009

MISA KUDUS dan PELANTIKAN PENGURUS BARU PERIODE 2009/2010

Keluarga Mahasiswa Katolik Universitas Budi Luhur

mengadakan

MISA KUDUS dan PELANTIKAN PENGURUS KMK BARU 2009/2010


yang akan dilaksanakan pada:

Jumat, 11 Desember 2009
pukul 11.30 WIB
di ruang 641

Misa dipimpin oleh Rm. Agustinus Purwantoro, SJ

Mohon kehadirannya ya teman teman..

TERIMAKASIII.. :)

Saturday, December 05, 2009

Pemilihan Ketua KMK periode 2009-2010

Jumat, 4 Desember 2009 kemarin diadakan pemilihan ketua KMK periode 2009-2010 lhoo..
dari 3 orang kandidat yang menyampaikan visi dan misi terpilihlah Andreas Nugraha sebagai ketua, dengan perhitungan:
       * Theodore Dimas Wisnu : 8 suara
       * Andreas Nugraha (puput/andre) : 23 suara
       * Robertus B Basuki (ukik) : 8 suara
selamat yaa untuk pak ketu yang baru.. Semoga terus semangat dalam berkarya
Kita doakan ya teman- teman c:

Thursday, December 03, 2009

APA ITU DAMAI?

Pemandangan di luar amat kelam. Hujan deras sedang mengguyur kota. Jalanan yang biasanya amat ramai, kini terasa sepi. Hanya satu dua kendaraan yang lewat sambil melemparkan cahaya lampunya ke atas aspal yang lalu memantul ke atas bagai percahan sinar tanpa arah. Langit malam berwarna merah terang, menampakkan awan mendung yang tebal sedang melayang-layang menutup kotaku. Aku duduk di sebuah cafe, ditemani secangkir kopi, bersama seorang teman yang cukup lama tak pernah bersua. Sayup-sayup alunan suara dari Susan Wong bercampur dengan bunyi hempasan air hujan menemani kami. Suasana lembut. Amat lembut.

Malam itu kami bertutur panjang. Tentang kesedihan. Tentang musibah. Tentang cinta. Tentang kemanusiaan. Tentang derita dan keputus-asaan. Tentang alam, manusia dan Tuhan. Tentang apa saja yang terlintas di pikiran kami. Filsafat yang mengalir untuk berupaya memahami kehidupan kami. “Kita tak pernah belajar untuk menggunakan hati kita” katanya, “Kita lebih senang menggunakan otak kita. Tuhan tidak pernah memaksakan kehendak-Nya, kita diberi kebebasan untuk memilih, dan kita lebih senang memilih untuk memalingkan diri dari jalan-Nya. Kita ingin menempatkan Tuhan di depan kita untuk memimpin kita dan bukannya berpaling kepada-Nya....”

Aku kira, persoalan bukanlah karena kita lebih memilih berpaling dari-Nya. Seringkali hidup memaksa kita untuk tidak punya pilihan-pilihan. Seringkali kita tak mampu untuk memilih jalan yang harus kita tempuh. Penderitaan kita terbentuk dari lingkungan kita, yang sering tak bisa kita kendalikan secara utuh. Terlebih jika kita melulu hanya menggunakan hati dan perasaan. Hati dan perasaan kadang menjadi sedemikian menekan jiwa, sehingga satu-satunya jalan adalah dengan berpikir jernih untuk menerima apa yang sedang kita alami. Ya, hidup seringkali tidak sesederhana kata-kata indah, ucapan-ucapan penghibur hati dan perasaan belas kasih. Karena kita harus mengalami dan pengalaman itu sering kali amat menekan hati dan perasaan kita. Menekan jiwa kita.

Udara malam yang cukup dingin. Deraian hujan. Jalan yang sepi. Alunan lagu. Secangkir kopi hangat yang mengepulkan asap. Tiba-tiba aku merasa bahagia karena berada di tempat dan suasana saat itu. Karena aku tahu bahwa, ada banyak, ya ada banyak mereka yang pada saat yang sama, hanya bisa pasrah tak berdaya dalam kesunyian hatinya. Ada banyak mereka yang saat itu tak punya rumah, meringkuk kesepian, sedang mengalami bencana peperangan yang tak diinginkannya. Mereka yang sedang kelaparan dan terlunta dalam kepahitan akibat pemaksaan, kebohongan, kelemahan dan ketidak-berdayaan. Dan itu semua adalah proses mengalami, bukan hanya dalam kata-kata yang tertulis di koran atau majalah yang bisa kita beli dengan mudah di tepi jalan.

Aku memandangnya. Dan aku sadar bahwa semua pengalaman dari mereka-mereka yang menderita dan tertindas mungkin saja menimbulkan rasa iba dan belas di hati kita. Tetapi tetap saja berbeda antara yang mengalami dan yang mengetahui. Karena dengan hanya mengetahui, tanpa terlibat langsung dalam persoalan-persoalan kehidupan itu, kita selalu punya pilihan untuk mengelak. Kita selalu punya pilihan untuk menghindar. Kita bebas untuk memilih, namun ada banyak, ya ada banyak mereka yang tak punya pilihan lain selain dari menghadapi dan menerima penderitaan itu. Ya, tak ada pilihan lain. Maka sungguh sulit untuk bisa memahami penderitaan orang lain tanpa kita sendiri pernah mengalaminya. Luar biasa sulitnya jika bukannya mustahil.

“Kita tidak mendengarkan-Nya dengan hati. Mari kita gunakan hati kita. Kita gali hati kita untuk mendapatkan-Nya kembali...” katanya kembali. Ya, kita harus mendengarkan hati kita sendiri. Namun kita juga harus memikirkan dan mempertimbangkan banyak kemungkinan yang tidak melulu dari kepentingan kita sendiri. Hidup tidaklah sekedar hanya dengan perasaan. Jika itu yang kita jalankan, maka kita akan tenggelam dalam ruang tertutup dengan pintu-pintu yang terkunci. Saksikanlah penderitaan, rasakanlah kesakitan yang terjadi, kesakitan yang bukan hanya pada tubuh namun terutama pada jiwa yang tak berdaya berbuat apa-apa. Mereka yang dibohongi, mereka yang ditinggalkan dan disia-siakan. Mereka yang tenggelam dalam kesunyian hidup karena tak punya apa-apa untuk bangkit. Dan ada banyak, ya ada banyak di dunia ini mereka yang sedang berseru kepada-Nya. “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”

Aku menghirup kopiku yang mengepul. Suatu perasaan hangat dan puas mengarungi tubuhku. Di sini aku merasa aman, nyaman dan menikmati segala apa yang tersedia bagiku. Ruang yang sejuk. Alunan lagu. Cahaya yang remang-remang. Suasana melankolis dari hujan yang menderasi bumi. Aku merasa bebas dari derita. Bebas dari ketak-nyamanan udara malam yang terbuka. Bebas dari terpaan hujan di luar. Tiba-tiba aku berpikir: “Ah, seseorang yang tak pernah merasa kekurangan, mampukah merasakan kekurangan orang lain? Seseorang yang tak bersedih, mampukah merasakan kesedihan orang lain? Seseorang yang tak pernah menderita, mampukah merasakan penderitaan orang lain?...” Tuhan memang tidak pernah membiarkan kejahatan terjadi. Manusialah yang membiarkannya. Dengan melakukannya. Dengan bersikap tak peduli. Dengan melupakannya. Manusia yang merasa dirinya mewakili Tuhan. Manusia yang bersikap sebagai Tuhan. Hujan di luar semakin deras saja.